“Siapa saja yang memusuhi mereka (IM)?”.
Jama’ah Ikhwanul Muslimin adalah jama’ah pemikiran, metodologi, dan politik. Bukan Mazhab dalam akidah hingga harus dibandingkan atau disejajarkan dengan Ahlus Sunnah, atau Khwarij, Jahmiyah, Mu’tazilah, Murji’ah, ataupun Syi’ah, dst.
IM juga bukan mazhab fiqih, hingga harus disejajarkan dengan Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah atau Hanabilah, ataupun Zhahiryah.
Karenanya saudara melihat ada di antara mereka yang berintisab ke salafiyah, Asy’ariyah, dll. Sebagaimana ada dari mereka yang bermazhab Hanbali, Syafi’i, Hanafi, maupun Maliki. Ada pula yang berintisab kepada mazhab Zhahiri, bahkan sebagian lain kepada mazhab Ahlul Hadits.
Konsentrasi jama’ah ini mengkristal pada urusan publik/umum dan reformasi politik. Karena itu pula, jarang kita temukan karya tulus mereka dalam bidang akidah maupun furu’ fiqhiyyah.
Namun mazhab fiqih variatif yang ada pada mereka, menimbulkan toleransi dalam perkara-perkara tersebut (urusan publik/umum dan reformasi politik). Kita melihat adanya pendekatan antara beberapa mazhab fikih dalam perkara tertentu yang mungkin bertentangan dengan dalil yang jelas dan shahih. Begitu pula dalam perkara akidah. Kita dapati sebgian mereka bermanhaj salafi, asy’ariyah, dll.
Tujuan utama mereka adalah reformasi politik. Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah timbul kesenjangan antara birokrasi negara dengan urusan agama dan ibadah yang telah menjadi urusan pribadi manusia. Maka mereka ingin mengangkat urusan agama ke dalam ranah yang lebih tinggi(politik) demi perbaikan umat. Fakta ini juga terkadang mendorong mereka kepada ‘tanazulaat’/konsesi dalam banyak hal.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, ketika kita melihat kepada jama’ah ini, maka kita harus melihat dari berbagai sisi, di antaranya ;.
Pertama, siapa saja yang memusuhi mereka.
Sebagian politikus yang percaya ideologi separasi agama dari politik sebenarnya tidak mengkhwatirkan rusaknya agama karena IM, tetapi mereka khawatir rusaknya politik dari IM, meski terkadang mereka membalut kekhawatirannya dengan istilah bid’ah Ikhwan, dll. Kendati golongan ini benar dalam beberapa perspektifnya, tetapi terkadang mereka menjadikannya alasan untuk menjatuhkan IM agar reformasi politik gagal sama sekali.
Memang di beberapa negara, sebagian aktivis IM mengakui UU yang melegalkan zina jika suka sama suka, atau penjualan khamar, bahkan pendiskreditan hak Allah dalam tasyri’/penetapan hukum. Maka dalam hal ini konflik antara IM dengan pihak2 Islamis lainnya harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang lebih dekat dengan kebenaran. Namun, sikap adil harus tetap menjadi pegangan semua pihak. Karena tidak jarang dalam kondisi seperti ini, IM justru sedang melawan kekufuran nyata, kesyirikan, atau kezhaliman yang jauh lebih besar.
Maka, tidak layak kita menghukumi mereka secara general dengan satu hukum yang sama, padahal mereka begitu variatif. Apalagi mereka adalah manhaj pemikiran, metodologi, dan politik, Bukan manhaj akidah ataupun fikih.
Maka, jika terjadi perselisihan antara mereka dengan kaum muslim lainnya, hendaklah dilihat dari kacamata syari’at, baru kemudian kekeliruan mereka diluruskan.
Inilah sikap adil yang diperintahkan Allah kepada kita.
Karena mereka adalah kaum muslimin, dan dalam hal ini mereka adalah jama’ah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah.
Terkhusus lagi kepada beberapa negara dan kelompok yang tidak menginginkan terjadinya reformasi politik versi Islam, atau dikembalikannya hukum dan keputusan Allah atas manusia, dan berusaha menggagalkannya.
Inilah sikap inshaf dan adil yang diperintahkan Allah kepada kita. Ini pula sikap al-Qisth dan penegakan ‘syahadah’ karena Allah.
Kedua, Pihak mana yang paling diuntungkan dari kontroversi antara IM dengan kaum muslim lainnya.
Jika yang mengambil keuntungan terbesar adalah golongan yang menjadi musuh bersama dan bahayanya atas ummat jauh lebih besar, maka hendaklah sesama kaum muslim saling mengasihi satu sama lain. Tanpa membiarkan kekeliruan yang ada pada sebagian pihak. Kesalahannya harus dijelaskan secara internal dengan lisan atau tulisan, yang jauh dari bahasa permusuhan.
Ketika golongan tertentu dari kaum muslim sedang berkonfrontasi dengan kekufuran yang nyata seperti Sekularisme, maka tidak layak bagi muslim lainnya malah menyerang mereka. Inilah sebabnya, saat Ibn Taimiyah Rahimahullah memerangi penjajah Tartar, golongan lain seperti Asy’ariyah dan Shufiyah ikut berperang bersama beliau. Dan inilah keadlian serta inshaf yang kita maksudkan. Karena dengan menyerang dan melumpuhkannya, berarti kita memberi kesempatan kepada mereka yang jauh lebih sesat untuk berjaya.
Adapun kesalahan mereka, maka hendaklah diperbaiki, diluruskan dengan cara yang baik, dan dijelaskan kepada orang ramai secara universal. Bukan dengan cara konfrontasi atau permusuhan. Ini adalah bagian dari mashalih syar’iyah yang tidak dapat diemban kecuali oleh seorang alim yang jujur, shaleh, beragama dan lemah lembut kepada manusia, jauh dari sifat dengki dan benci.
Saat mengkritik orang lain, mayoritas manusia bisanya dalam hatinya ia mengingat pihak yang ia agungkan, baik raja, menteri, atau kepentingan politik dan negara. Namun ia justru melupakan Allah Ta’ala dan pembelaan terhadap agama-Nya. Barangkali secara lahir tujuannya membela agama Allah, namun batinnya disusupi hawa nafsu.
Karenanya Allah Ta’ala berfirman :
[ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah:8)]
Inilah neraca jelas dalam perkara ini. Banyak dari manusia dalam dakwah, ishlah, jarh dan ta’dilnya, serta kritikannya tercemar dengan hwa nafsu. Sedang Allah tidak menerima kecuali yang murni dan tulus karena-Nya. Ketika ditimbang 3/4 dari amalnya melayang tanpa pahala karena unsur hawa nafsu serta kepentingan pribadi. Dan yang tersisa dalam timbangan amalnya hanya sedikit. Tinggallah ia menanggung dosa dari perbuatannya.
Semoga Allah mengampuni kita semua.
(Diterjemahkan dari jawaban Syekh DR. Abdul Aziz at-Thuraifi, Muhaddits muda Saudi, peneliti di Kementrian Wakaf dan Syu’un Islamiyah Saudi).
_ sumber : albashirah.com _.
No comments:
Post a Comment